Kopi Susu - Matahari Pagi
NURUL HAMBALI
Aku adalah aku,
aku yang dilahirkan dari keluarga yang sederhana, perih mengajarkan aku untuk
mensyukuri kehidupan, menikamati rahmat Tuhan yang agung. Setiap datang fajar
aku harus mulai mengayuh sepadaku. Sepeda yang dibeli ayah saat aku masuk
sekolah tingkat atas. Ayah selalu mengajarkan kesederhanaan dalam hidup. Ayah
selalu menghargai waktu. Ayah selalu mengulang ucapannya, waktu adalah
matahari. Memberi kehangatan saat pagi, memberi cahaya saat siang, memberi
nyawa kepada makhluk Tuhan. Aku selalu memejamkan mataku dan mengerutkan
keningku sambil menghela nafasku. Karena aku belum mampu memahami ucapan ayah.
Menanti fajar
adalah waktu singkat aku dan ayah berdiskusi, karena tepat jam 06 pagi kami
harus bergegas menuju rutinitas masing-masing. Segelas kopi dan susu siap
di meja makan. Kopi hitam dengan rasa pahit selalu menemani pagi ayah, sedangkan
susu putih manis adalah bagian dari pagiku. Aku pernah bertanya kepada ayah,
kenapa kopi ayah tidak pernah dicampur gula? Ayah selalu menjawab dengan
senyuman manisnya, tak pernah menjawab dengan alasan yang bisa aku pahami.
Hangatnya
matahari kini semakin terasa dan masuk kedalam sum-sum tulangku. Artinya
matahari telah beranjak dari timur ke barat, matahari telah berada tepat
dibalik punggungku. Keringatku sudah mulai meresap kedalam seragamku. Mengayuh
sepeda dengan jarak 15 kilo dari rumah menuju sekolah bukan hal yang berat
untuk aku lalui. Aku selalu senang ketika aku berada di atas sepedaku karena
seiring perjalananku. Aku selalu membayangkan hal-hal yang menyenengkan,
terutama membayangkan kehidupanku di masa depan, merajut asa meraih impian terbaik
dengan ayah.
Namun semua itu
berjalan dengan cepat, aku tak mengayuh sepedaku lagi. Sekarang aku hanya tersenyum
setiap pagi menatap mata ayah, menantang matahari dan memandangi segelas susu.
Aku hanya mampu duduk dikursi roda, akhirnya aku tahu mengapa ayah selalu minum
kopi tanpa gula, karena pahitnya kopi mengingatkan dia dengan hari ini, pahit
mengajarkan dia untuk sabar setalah ibuku divonis mengidap kanker tulang dan
lumpuh hingga akhirnya tersenyum dalam diam. Dan meninggalkan sisa takdirnya
dalam tubuhku, aku sama dengan ibuku kanker tulang, tapi ayahku selalu memberiku
segelas susu untuk memperbaiki tulangku, memberiku senyuman manis menghiasi
pagiku.
good job!!! and maju terusss ! semang-art
BalasHapusAmazing!terus berkarya ya..
BalasHapus