Rabu, 06 Januari 2016

Kopi Susu - Matahari Pagi



Kopi Susu - Matahari Pagi
NURUL HAMBALI
        Aku adalah aku, aku yang dilahirkan dari keluarga yang sederhana, perih mengajarkan aku untuk mensyukuri kehidupan, menikamati rahmat Tuhan yang agung. Setiap datang fajar aku harus mulai mengayuh sepadaku. Sepeda yang dibeli ayah saat aku masuk sekolah tingkat atas. Ayah selalu mengajarkan kesederhanaan dalam hidup. Ayah selalu menghargai waktu. Ayah selalu mengulang ucapannya, waktu adalah matahari. Memberi kehangatan saat pagi, memberi cahaya saat siang, memberi nyawa kepada makhluk Tuhan. Aku selalu memejamkan mataku dan mengerutkan keningku sambil menghela nafasku. Karena aku belum mampu memahami ucapan ayah.
        Menanti fajar adalah waktu singkat aku dan ayah berdiskusi, karena tepat jam 06 pagi kami harus bergegas menuju rutinitas masing-masing. Segelas kopi dan susu siap di meja makan. Kopi hitam dengan rasa pahit selalu menemani pagi ayah, sedangkan susu putih manis adalah bagian dari pagiku. Aku pernah bertanya kepada ayah, kenapa kopi ayah tidak pernah dicampur gula? Ayah selalu menjawab dengan senyuman manisnya, tak pernah menjawab dengan alasan yang bisa aku pahami.
       Hangatnya matahari kini semakin terasa dan masuk kedalam sum-sum tulangku. Artinya matahari telah beranjak dari timur ke barat, matahari telah berada tepat dibalik punggungku. Keringatku sudah mulai meresap kedalam seragamku. Mengayuh sepeda dengan jarak 15 kilo dari rumah menuju sekolah bukan hal yang berat untuk aku lalui. Aku selalu senang ketika aku berada di atas sepedaku karena seiring perjalananku. Aku selalu membayangkan hal-hal yang menyenengkan, terutama membayangkan kehidupanku di masa depan, merajut asa meraih impian terbaik dengan ayah.
        Namun semua itu berjalan dengan cepat, aku tak mengayuh sepedaku lagi. Sekarang aku hanya tersenyum setiap pagi menatap mata ayah, menantang matahari dan memandangi segelas susu. Aku hanya mampu duduk dikursi roda, akhirnya aku tahu mengapa ayah selalu minum kopi tanpa gula, karena pahitnya kopi mengingatkan dia dengan hari ini, pahit mengajarkan dia untuk sabar setalah ibuku divonis mengidap kanker tulang dan lumpuh hingga akhirnya tersenyum dalam diam. Dan meninggalkan sisa takdirnya dalam tubuhku, aku sama dengan ibuku kanker tulang, tapi ayahku selalu memberiku segelas susu untuk memperbaiki tulangku, memberiku senyuman manis menghiasi pagiku.

2 komentar: