Sabtu, 09 Januari 2016

Penggenggam Hujan



PENGGENGGAM HUJAN

 
                Harum tanah kering semerbak menjelma menjadi nada-nada dalam solo fingerstyle Jhon Williams sore itu. Tak terasa panas terik siang tadi menjadi pengantar mendung sore ini. Gemuruh langit membuat suasana semakin sendu dalam melodi Rain. Tirai jendela yang menjadi hiasan kamar Rain seakan menjadi saksi bisu Rain memandang gelap sore itu.
                Hujan yang sekan tak pernah menoreh Rain sebelumnya menjadi berontak karena sikap Rain. Rain yang piawai dalam menulis puisi sekan berhenti karena rintik hujan yang turun sore itu. Etah apa yang Rain rasakan saat itu, Rain menjadi sosok makhluk paling beku dalam hidupku. Tak pernah kudengar dia berdialog menyairkan puisinya lagi.
                Dengan pelan aku mendekatkan telingaku pada dinding kamarku, seakan berharap Rain kembali berteriak bersenandung dengan puisi-puisi yang menggambarkan dunia ini. Namun percuma hingga reda rintik hujan yang membasahi tanah Rain tetap diam.
                Matahari perlahan turun dan bulan semakin beranjak naik keatas permukaan langit, memancarkan sinar dalam gelapnya malam itu. Entah kenapa hati ini tergerak untuk berbisik kepada Rain, “ berdiri, beranjak, dan belari keluar, lihat dunia, ia menantimu, menanti Rain yang riang menyairkan puisi kalbumu”. Tapi apa daya aku tersekat pada dinding yang tak mampu kuruntuhkan, karena Rain adalah Hujan sore itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar