PENGGENGGAM HUJAN
Harum tanah kering semerbak
menjelma menjadi nada-nada dalam solo fingerstyle
Jhon Williams sore itu. Tak terasa panas terik siang tadi menjadi pengantar
mendung sore ini. Gemuruh langit membuat suasana semakin sendu dalam melodi Rain.
Tirai jendela yang menjadi hiasan kamar Rain seakan menjadi saksi bisu Rain
memandang gelap sore itu.
Hujan yang sekan tak pernah
menoreh Rain sebelumnya menjadi berontak karena sikap Rain. Rain yang piawai
dalam menulis puisi sekan berhenti karena rintik hujan yang turun sore itu.
Etah apa yang Rain rasakan saat itu, Rain menjadi sosok makhluk paling beku
dalam hidupku. Tak pernah kudengar dia berdialog menyairkan puisinya lagi.
Dengan pelan aku mendekatkan
telingaku pada dinding kamarku, seakan berharap Rain kembali berteriak
bersenandung dengan puisi-puisi yang menggambarkan dunia ini. Namun percuma
hingga reda rintik hujan yang membasahi tanah Rain tetap diam.
Matahari perlahan turun dan
bulan semakin beranjak naik keatas permukaan langit, memancarkan sinar dalam
gelapnya malam itu. Entah kenapa hati ini tergerak untuk berbisik kepada Rain,
“ berdiri, beranjak, dan belari keluar, lihat dunia, ia menantimu, menanti Rain
yang riang menyairkan puisi kalbumu”. Tapi apa daya aku tersekat pada dinding
yang tak mampu kuruntuhkan, karena Rain adalah Hujan sore itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar