Kupandangi
koper yang akan menemani perjalanan sampai waktu yang belum tahu kapan akan
berhenti dalam satu titik muara. Pakaian: baju, celana dan jaket jeansku yang
tergantung pada henger plastik reot karena menompa beban yang teramat berat.
Hingga sepatu kets coklat yang baru aku beli dengan mamakku disuatu toko sepatu
populer dikotaku. Hingga tiket pesawat yang selalu kupandangi tak sabar
menunggu hari esok.
Malam yang dingin yang terbalut
cahaya bintang diatas peraduan rumah-rumah warga kampungku. Ini keputusan besar
setelah 1 tahun kelulusan SMA untuk beranjak ke kota seberang demi menutupi ego
dan rasa kecewaku karena tidak lolos SNMPTN tahun lalu. Hingga ide hijrah ini
terceletuk dari gumaman ayahku yang mengijinkanku untuk kuliah di Bandung.
Isak tangis uwak-uwakku yang
mengantarkanku ke bandara demi perpisahan ini. Tak kulihat air mata yang
membasahi pipi mamakku. Aku terdiam sembari ngebatin, apakah mamakku senang
jika aku meninggalkan rumah yang selalu membuat hari-hariku nyaman?. Entahlah
hanya perasaan kecil yang terselip dalam benakku.
“diberitahukan
kepeda semua penumpang boing 538 Z, untuk memasuki ruang tunggu dan melalui
pintu 3, karena pesawat akan take off pada jam 11.20 wib.” Aku bergegesan
menyalami semua yang ikut mengantarkankku, hingga terakhir aku mencium pipi
orang yang paling aku sayangi. Dan berjalan menuju sasaran utamaku.Dari
kejauhan aku melambaikan tanganku kepada semua orang yang berada diatas ruang
pengantar penumpang pesawat.
2 jam lebih 15 menit akhirnya aku
tiba dibandara Soekarno-Hatta Jakarta, kota yang katanya tak pernah tidur.
Akupun binggung karena begitu banyak orang yang menunggu sambil mengangkat
papan nama. Kata ayah ada seorang lelaki yang akan menjemputku, namun aku
sekalipun tidak pernah bertemu dengan dia, hanya wajah samar yang ayah
perlihatkan kepadaku, foto usang yang beliau kasih namun, sayangnya foto itu
diambil ketika lelaki tersebut berusia 15 tahun dan sekarang ia berusia 34
tahun, mana mungkin aku mengenalinya.
Tiba-tiba seseorang berteriak dan
melambaikan tangan kanannya “Kakak,-kakak,-kakak”
Mataku tertuju pada arah lambaian tangan dan suara yang memanggil namaku.
Aku pikir nama kakak didunia ini hanya aku, karena kakak adalah sebutan untuk
saudara tua. Namun Kakak adalah singkatan dari namaku Karisa Kamela Komar.
Kupandangi lelaki itu dari ujung kaki ke ujung kepala, dengan tubuh yang kekar
dan tegap, namanya Johar dia adalah tentara anak dari abang ayahku. Yang
mengijinkanku untuk kuliah di Bandung karena sepupuku itu yang sudah 14 tahun
menetap di Bandung berhubung bang Johar bertugas disana. Menuju rumah dinasnya
tak sepatah katapun yang ia lontarkan kepadaku. 3 Jam perjalananku menuju
Bandung aku hanya melirik kanan kiri jalan tol. Sesekali melihat melihat lurus
kedepan. Tiba-tiba mobil yang aku tumpangi memutar setir kekiri menuju restarea
yang disediakan tol untuk tempat istirahat dan makan bagi pengguna jalan. Pada
akhirnya rumah makan minanglah yang kami tuju. Karena seluruh kota di Indonesia
rumah makan Padang pasti ada. Namun ketika aku memasan makanan yang tersedia
dimenu tak seenak masakan minang di Medan, kota kelahiranku tanah batak dengan
selera makan yang besar dan kuliner yang terkenal enak.
Ketika semua menu yang diletakkan
diatas meja hanya ayam goreng dan kuah gulai yang aku campur dengan nasi
dipiringku. Ketika sedang mengunyah makanan didalam mulutku, tiba- tiba bang
Johar membuka percakapan “Mau kuliah ngambil
jurusan apa kau nanti?” aku kembali mengunyah dan melumat sisa makanan
dimulutku. “emmm.... pengennya matematika
bang, tapi setelah aku pikir-pikir aku masih bingung untuk menggambil jurusan,
jadi kayaknya nanti aja setelah aku melihat brosur-brosur yang disediakan
kampus”. Kembali aku mengangkat nasi dari kepalan tanganku dan melanjutkan
makan siangku. Begitu pula dengan bang Johar yang meghabiskan makanannya tanpa
tersisa satupun nasi dipiringnya. Selang waktu beberapa menit asap yang
mengepul disekitar meja makanpun mengudara mencari celah angin. Bang Johar
adalah seorang perokok aktif jadi tak akan afdol kalau setelah makan dia tidak
merokok.
Tiba dirumah dinas bang Johar dan ia
pun telah menyediakan kamar untuk aku beristirahat, rumah yang berbaris
berjajar dan sama semua bentuknya. Cuaca yang begitu dingin langsung menusuk
kulit dan tubuhku ini. Suhu disini setiap malam berkisar 19-21’C kata bang
Johar, ketika aku merinding karena kedinginan. Biasanya aku tidur memakai bahan
yang dingin namun malam ini berbeda, aku harus memakai pakaian dabel-dabel
untuk menghangatkan tubuh mungilku.
Bang Johar adalah duda anak 1, dan
sudah 5 tahun dia hidup sendiri, istri dan anaknya kembali kerumah orang
tuanya. Aku tak tahu persis apa sebabnya sampai mereka bercerai. Aku tak ambil
pusing karena alasanku untuk menenatap disini adalah kuliah dan menjauh dari
semua rasa kecewaku setahun lalu.
Pagi ini aku memulai menapak kaki
dan melangkah untuk mencari tempat belajar sesuai kemampuan finansial orang
tuaku. Setalah aku searching di Internet untuk mencari kampus yang ada di
Bandung. Akhirnya tetangga bang Johar memberikan aku sebuah brosur dimana dia
kuliah. Yang pertama aku lihat adalah daftar biaya semester. Setelah itu baru
aku lihat daftar fakultas yang disediakan. Tanpa berfikir panjang dan menurutku
itu adalah kampus yang sesuai dengan kantong ayahku. Aku menuju kampus itu
dengan menunpang kerata api. Lagi-lagi ini hari pertamaku naik kendaraan yang
hanya melaju pada satu rel. Hemmm kuhela nafas panjang dengan tekad yang bulat
dengan gaya berani ciri khas orang Sumatera. Hingga tanpa ragu aku bertanya
kepada setiap orang yang berdampingan denganku. Setelah bergulirnya waktu
berjalan aku berdiri tepat persis disebrang Universitas Nusantara, brosur yang
tak terlepas dari genggamanku.
Dan tanpa ragu aku mendaftar disalah
satu fakultas UNINUS, fakultas komunikasilah yang aku pilih dan setelah mengisi
dan menyetujui semua aspek yang tertulis dalam berkas pendaftaran aku siap
memulai perkuliahan minggu depan.
Tak terasa sudah 6 semester aku
belajar di UNINUS, dengan begitu banyak daftar kredit semester yang telah aku
jalani. Saat ini aku tak canggung lagi bersosialisasi pada orang Bandung yang
notabennya suku sunda. Dan aku menajalani hari-hari kuliahku dengan kedua
sahabatku. Rein adalah potongan Reina Putri Amelia, seorang yang aku rasa cukup
keren dengan sejuta impian menjadi sutradara, namun sayangnya dia kuliah tidak
sesuai jurusan, tapi yang namanya cita-cita Rein selalu bilang, gak penting
kuliah jurusan gak seimbang dengan minat
gue, yang jelas namanya cita-cita tetep harus gue kejar. Hem bener juga walau
tidak sesuai jurusan Rein tetep kekeh pada impiannya, berbagai komunitas film
di Bandung pernah dia selami. Namun sekarang dia menetapkan tekad pada komunitas
film yang cukup besar di Bandung, yang punya nama dikalangan para penggila
film.
Jalan bareng, ketawa bareng sambil
ngopi bareng, rutin kami lakukan sepanjang waktu luang disela kesibukan kuliah
kami. Namun saat ini karena kami terpisah oleh jurasan kebersamaan kami pun
terenggut. Tapi setidaknya seminggu sekali kami ngopi bareng.
Oh iya sahabat aku satu lagi namanya
Yesi dia paling centil dan sikapnya masih kekanak-kanakan, namun diantara kami
bertiga dia yang menjadi primadona, paras yang elok dipandang membuat para kaum
Adam dikampus hampir separoh pernah menjadi pacarnya. Haha yang terbenak dalam
kepalaku dan Rein satu julukan buat Yesi adalah Playgirl labil. Yesi paling gak
betah sendiri. Jika seminggu dia gak punya pacar rasanya dunia ini remang baginya.
Tapi disisi lain Yesi sosok sahabat yang perhatian, yang selalu neraktir kapan
pun saat kami kelaparan. Maklum Yesi termasuk anak orang tajir yang dengan
mudah menghamburkan uang papanya. Yesi anak bungsu dari 5 bersaudara dan paling
disayang oleh orang tuanya, sehingga apa yang dia inginkan dengan mudah
terkabul. Lengkap sudah bagi kami bertiga dengan karekter yang berbeda dan
saling melengkapi satu sama lain. Tak ada yang mampu memisahkan kami kecuali
waktu yang sengaja membuat kami sibuk dengan urusan pribadi.
Banyak masalah yang kami hadapi
selama 3 tahun ini tapi kami mampu mencairkan perkara tersebut dengan
kesimpulan yang berbuah manis. Dari ujung kampus gaya kamipun mampu ditebak
oleh masyarakat kampus. Tidak jarang dari mereka bertanya jika aku berjalan
sediri. “Kemana yang lain? Biasanya
selalu beriringan seperti pengibar bendera merah putih”. Sembari
cengengesan. Aku tidak pernah menghiraukan dan hanya diam.
Aku terbangun dari tidurku karena
nada dering dan getar dari hpku, panggilan telepon dari ayah, dan ayahpun
berkata bulan ini ayah tak bisa kirim uang karena ayah harus membiayai mamak
berobat. Aku terpaku bak patung yang berselimut debu karena lalulalang
kendaraan dan polusi udara sehingga membuat patung itu usang dan nyaris tak
berbentuk. Aku tak mengapa tidak dapat kiriman uang namun hati ini sesak
mendengar mamak sakit. Aku berusaha tenang tanpa berfikir macam-macam. Hanya
doa yang sanggup aku hantarkan untuk mamak.
Dari sinilah aku mampu mencari uang
jika ayah tidak memberi uang. Aku harus memutar otak untuk memenuhi kebutuhanku
sehari-hari. Dari mulai buruh harian tugas kuliah teman, memasarkan barang dagangan
orang serta menjadi MC acara screening film. Hasil yang kudapat tidak terlalu
banyak karena hanya beberapa teman kuliah yang males mengerjakan tugas yang
diberikan oleh dosen. Aku membandrol 1 makalah dengan harga 20 ribu rupiah.
Jika banyak job sehari aku bisa makan dengan lauk ayam. Jika tidak aku hanya
makan mie instan dengan kuah yang melimpah. Karena untuk hasil dagangan aku
cuma ngambil untuk 5 ribu rupiah setiap satu barang. Kali ini aku menjual
masker wajah yang 1 pecnya dihargai 15 ribu, jarang orang yang mau beli karena
tidak semua orang memakai produk yang aku jual. Kalaupun ngMC itu hanya jika
ada acara dan memintaku untuk mengisi acara tersebut. Namun setiap detik aku
selalu mengucap syukur atas nikmat yang Tuhan berikan, karena dengan bersyukur
aku bisa berdiri tegak.
Tak jarang Yesi prihatin dengan
kondisiku dia selalu memberiku uang dan cemilan untuk aku makan. Begitu pula
dengan Rein yang notabennya hanya dapat uang saku secukupnya dari mamanya. Rein
menyisakan uangnya demi aku yang kelaparan dan memberiku 1 bungkus roti. Tapi
aku tak mengharapkan itu dari mereka bagiku semua yang mereka kasi aku harus barter
dengan kemampuan yang aku punya.
Suatu ketika jika job harianku
sedang sepi. Aku mencari job dadakan, ngamen dilampu merah merupakan kegiatan
rutin jika sepeser uang tak tersisa didompetku. Dengan bermodal gitar dan pita
suara aku mampu meraup recehan yang diberikan penumpang angkot. Tak jarang aku
dapat mengantongi receh 20 ribu per 4 jamnya. Kegiatan ini tidak disetujui oleh
kedua sahabatku karena menurut mereka pengamen itu rendah dan resikonya tinggi
karena harus berdampingan dengan kendaraan dan preman jalanan. Tapi aku tetap
melanjutkan rutinitas dadakan ini. Seiring waktu bergulir aku mampu mengimbangi
kesusahanku dalam akomodasi sehari-hari.
Libur semesterpun tiba, kampus
terasa seperti gedung tua tak berpenghuni maklum selama tiga bulan ini aku mengakhiri
untuk menumpang pada bang Johar karena suasana yang kurang nyaman dan jarak
antara rumah dinas dengan kampus yang harus aku tempuh selama satu jam lebih
lalu dengan jadwal kuliah yang semakin padat karena aku memutuskan untuk
mengambil semester pendek. Karena bagiku makin lama aku kuliah maka semakin
banyak uang yang harus aku keluarkan untuk keperluah harian. Walau aku dijamin
dengan potongan harga kuliah karena beasiswa namun tetap saja membebaniku.
Selasai shalat isya tiba-tiba ayah
menelpon dengan suara berat karena air mata yang tak mampu terbendung dan
tersedu, aku bingung dan panik atas kabar bahwa mamakku telah meninggal dunia.
Derasnya air mata yang jatuh membasahi pipiku dan jantung yang bedegup kencang
gemetar mendengar kabar duka tersebut. Pagi harinya aku tak sempat bertemu
dengan kedua sahabatku karena aku harus buru-buru pulang ke Medan. Aku hanya
bisa mengabari mereka dengan sms pamit.
Sosok ibu bagi setiap anak adalah
idola mereka, termasuk aku yang teramat mengidolakan mamak, karena dari mamak
aku mampu bersikap dan mandiri. Mamak mengajari aku tegar dan bertahan dalam
semua kondisi. Aku melihat kedua adikku dan seraya berharap semoga kami
mendapat kebahagian dibalik duka yang kami alami. Sambil tersenyum aku mengkat
kepalan tanganku dan berkata semangat kepada mereka.sebulan sudah aku dirumah
dengan keadaan yang hampir pulih dari keheningan suasana kematian. Kami
bertekad untuk tetap meratap hari esok. Malam ini jadwal penerbanganku ke
Bandung untuk mengejar kuliah yang seminggu aku sempat tinggalkan. Bertemu
dengan semester akhir perkuliahan aku terus semangat untuk ngampus karena
semester ini penentu untuk tugas akhir. Setiap waktu aku mencari refrensi untuk
skripsiku dan memulai untuk mengerjakannya dari awal. Dan pada akhirnya aku
memberanikan diri untuk menghadap wali prodiku dan memberikan tulisan proposal penelitianku
untuk dikaji dan layak untuk melanjutkan bab selanjutnya. Beliau pun memutuskan
untuk memberikan dosen pembimbing kepadaku dengan catatan aku harus menuntaskan
semua SKSku tanpa kendala apapun. Aku pun siap untuk memberikan yang terbaik
kepada almarhum mamak.
Setiap hari selesai kuliah aku
lagsung keperpustakaan mencari sumber penelitianku, hingga aku lupa mengisi
perut demi sidang bulan depan. Aku tak menghiraukan ajakan Rein dan Yesi untuk
ngopi bareng. Aku hanya sibuk dan fokus pada skripsiku. Namun akhirnya mereka
sadar kenapa aku ngincar untuk lulus lebih cepat dari tahun yang ditentukan.
Bab akhir selesai dan siap untuk diuji sidang bulan depan. Tapi aku tak
berhenti disitu saja aku harus menguasai semua jawaban yang dilontarkan oleh
dosen penguji skripsi. Pegangan yang selalu aku pahami dan hafalkan setiap saat
dan membuahkan hasil, aku menyambat gelar S1 komunikasi di semester 7 ini.
Wiki Kopi yang terletak disimpang
tiga Braga Bandung. aku meluapkan semua kegembiraanku dengan bernyanyi tanpa
rasa malu dengan suara yang menurutku pas-pasan. Rein yang sibuk dengan kamera
untuk merekam aksiku bernyanyi dang memetik gitar yang disediakan wiki kopi. Namun
Yesi sibuk dengan pacar barunya yang kabarnya baru 2 hari jadian, jadi Yesi
terkena sindrom fallin love. Malam ini aku akan mengumumkan berita kepada kedua
sahabatku bahwa aku akan menetap di Jakarta karena lamaran yang aku ajukan
kepada perusahan edvertising menerimaku sebagai pegawai. Rasa bahagia dan rasa
sedih karena harus rela berpisah dengan kedua sahabatku muncul dalam alunan
syair mellow yang kubawakan malam ini lagu dari Ellie Goulding yang berjudul
love me like you do mengheningkan suasana wiki kopi, entah suaraku yang parau
karena kurubah nada yang energik menjadi sendu seperti perasaanku saat ini.
Pertemuan ini akan aku jadikan memo dalam catatan harianku, sahabat terbaikku
adalah mereka yang selalu berada disisiku.
Suara
tepuk tangan terdengar dari kejauhan, Fikar bos dimana aku berkerja memberiku
uplost dan berkata your the best Kak. Aku tersenyum tersanjung dengan pujian
Fikar. Dan dia meberikanku posisi sebagai menejer perusahan dan pengendali
semua aspek yang ada. Bukan hanya iklan yang kami tawarkan namun jasa EO pun
kami sambit dengan cepat karena berharap PRO-ADVERTISING harus jadi perusahaan
terbaik di Indonesia, dengan bermodalkan tekad dan semangat serta jujur dalam
bekerja menjadi moto perusahaan kami. Dengan itulah kami mampu melebarkan sayap
keluar negeri. Pro-Advertising cukup mempunyai nama sebagai perusahaan iklan
dan Eo ternama di ASIA.
Hari-hariku disibukkan dengan
segudang pekerjaan sehingga aku tak mampu untuk sekedar hangout bareng teman.
Aku terdiam menyeruput kopiku malam ini, ketika aku memutar kembali video yang
telah diedit Rein paska perpisahan lalu. Aku merasa rindu yang teramat kepada
meraka. Sudah hampir 2 tahun aku tak bersua dengan mereka, sahabat karibku.
Sahabat yang selalu memberikan spirit satu sama lain. Melirik keatas langit
menatap bintang rutin aku lakuakan jikalau aku rindu mereka. Diatas balcon
apartment tempat aku tinggal sekarang aku hanya bisa membayangkan perjalananku
dulu.
Hp yang tergeletak dimeja deket kopi
latteku berdering tanda pesan masuk, ternyata Rein juga lagi kangen denganku,
dan dia memberi kabar bahwa minggu depan dia pulang ke Jakarta. Rein lulus
tahun lalu dan memutuskan untuk tinggal di Thailand demi cita-citanya. Rein
bekerja pada produksi film ternama di Thailand sembari mengasah ketrampilannya
menjadi sosok sutradara profesional.
“Hai Kak, gue punya kabar gembira nih”
aku langsung membalas chat dengan sigap ”Kabar
baik apa Rein?Kabar kalau lo udah ganti kelamin seperti kebanyakan penduduk
Thailand.. hehehe”. Aku terkekeh dengan ingatan celutakan Rein yang sempat
berkata kalau dia ingin ganti kelamin, konyol itulah kebiasan kami kalau lagi
bercanda, suka ngasal kalau ngomong.. “Ngehek
lo,Sialan, kampret, taik,-__-“.... ’Bercanda
gue, apaan?’ “ GUE BIKIN FILM TENTANG
KITA DAN FILM PERDANA GUE BAKAL RILIS DI INDONESIA” gue bingung dan biasa
aja secara gue tahu dia hobi bikin film, eh dan aku perlahan membaca chat dari
Rein sampai akhir.. “KUNCER YANG ADA
DICATATAN HARIAN LO GUE ADOPSI UNTUK FILM GUE” aku baru sadar terakhir aku
kasi catatan harianku kepada Rein ternyata dia sempat membacanya, karena waktu
itu aku tak tahu harus kasi kenangan apa ke Rein. Kalau Yesi terlalu banyak
barang yang dia punya hingga aku kasi aja tas berbentuk hello kitty kartun
kesukaanya.
Malam minggu suasana Plaza Senayan
XXI Jakarta dipenuhi pengunjung yang antusias demi bertemu dengan Rein untuk
meet and greet fremier film yang digadang-gadang menceritakan persahabatan
tiada batas. Aku dan Yesi duduk bersebelahan temu kangen dengan mengungkap
perjalan selama 2 tahun tak bertemu Yesi melanjutkan S2 di Bandung. Aku tak
menyangka Yesi yang terkenal malas kuliah sekarang bertekad lulus S2 dan kabar
paling mengejutkan Yesi bertahan dengan Haris yang kutemui pada malam
perpisahan di Wiki Kopi lalu. Mungkin Yesi telah menemukan soulmatenya. Dengan
lembut dia berbisik ditelingaku ”Gue
kemaren dilamar Haris”. Tepuk tangan yang meriah membanjiri suasana malam
ini Rein dan pemain film TEMAN SEBAYA
tersenyum dan melambaikan tangan menyapa hangat pengunjung XXI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar